Oleh : KH Hilman Rosyad Syihab
Ustadz, apakah yang dimaksud israf ? Pada saat makan, seorang teman sering mengingatkan saya agar tidak israf. Apakah sama artinya dengan mubadzir , membuang-buang makanan ?
Jawaban :
Bagi seorang Muslim, mengkonsumsi atau menggunakan segala sesuatu tidak lepas dari tuntunan Islam sebagai salah satu bentuk syukur kepada Allah atas segala karunia-Nya. Di antara tuntunan Islam dalam mengkonsumsi makanan, selain halal dan baik ( thayib ), juga proporsional. Firman Allah SWT,”Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan” ( QS Al-A’raf : 31 ).
Tidak berlebihan bermakna makan dan minum sesuai kebutuhan tubuh agar tetap sehat dan bugar, bukan sekedar mengikuti selera. Jika satu porsi nasi cukup, maka tidak perlu dua porsi, Jika 500 kalori cukup, maka 1000 kalori adalah berlebihan. Dalam membelanjakan harta, Islam pun melarang berlaku israf . Allah SWT memuji orang yang bersahaja,”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan ( harta ), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak ( pula ) kikir, dan adalah ( pembelanjaan itu ) di tengah-tengah antara yang demikian”. ( QS Al-Furqan : 67 ).
Selain melarang israf ( berlebihan ) dalam mengkonsumsi dan menggunakan harta kekayaan, Islam pun melarang umatnya berlaku tabdzir atau menghamburkan kekayaan yang dimilikinya. Secara tegas Allah SWT melarangnya, bahkan menyebut para pemboros itu sebagai saudaranya syaithan, ”Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) seacara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan”. ( QS Al-Isra : 26 – 27 )
Secara ringkas, bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan sikap berlebihan ( israf ) ialah menggunakan, mengkonsumsi, atau membelanjakan sesuatu yang dimiliki oleh seseorang melebihi kebutuhan yang semestinya. Sedangkan sifat boros ( tabdzir ) adalah menggunakan, mengkonsumsi atau membelanjakan sesuatu pada sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
Sikap israf dan tabdzir adalah dua hal yang harus dihindari seorang Muslim. Sikap terlarang ini tidak hanya berkaitan dengan masalah makan, minum dan membelanjakan harta kekayaannya, tetapi juga berkaitan dengan seluruh karunia yang telah Allah berikan kepadanya, seperti kesehatan dan waktu ( usia ) yang dimilikinya. Wallahu a’lam ■
Sumber : Fiqih Sunnah, Galamedia, Jumat, 23 Juni 2006 / 26 Jumadil Awal 1427
- KH Hilman Rosyad Syihab, Lc — Direktur Hayatur Rasul Foundation
ΩΩΩ
Entri Terkait :