Oleh : Ustadz Bachtiar Nasir
Ustadz, saya sangat kecewa dengan pungutan liar dan tarif penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA), apakah penghulu dalam pernikahan itu harus KUA?
Wahyudi Rk — Jakarta Selatan
Jawaban :
Sebagai warga negara yang baik dan untuk melindungi diri dari kezaliman terhadap calon istri seharusnyalah pernikahan yang sah ini tercatat di KUA. Walau penghulu tidak harus dari KUA, tapi hendaknya menghadirkan pengurus KUA setempat sebagai pencatat. Dia akan mencatatkan pernikahan Anda untuk kemudahan urusan administrasi.
Jika ada oknum KUA yang melakukan pungli atau memasang tarif seperti yang Anda rasakan, sudah ada mekanisme pelaporannya. Silakan laporkan ke KPK, selanjutnya KPK yang akan memproses penghulu nakal tersebut atau Anda laporkan kepada kepala KUA. Untuk sahnya suatu pernikahan dalam syariat Islam yang penting adalah cukup syarat dan rukun pernikahan tersebut.
Rukun yang harus ada dalam suatu pernikahan adalah calon suami yang boleh menikah dengan wanita yang mau dinikahinya, calon istri yang halal dinikahi oleh calon suaminya, adanya ijab dari wali pihak wanita dan qabul dari pihak laki-laki, dan adanya wali dari pihak calon istri. Hal itu berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Aisyah ra.
“Perempuan manapun yang menikah tanpa seizin walinya, nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika dia telah digauli, dia berhak mendapatkan mahar karena lelaki itu telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak punya wali.” (HR. Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim).
Rukun nikah selanjutnya adalah adanya dua orang saksi. Ini berdasarkan hadis . “Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” (HR Daruquthni, Baihaqi dan Hakim).
Dalam kitab Muhall-nya, Ibnu Hazm mengatakan, tidak ada yang sahih dalam bab ini tentang dua saksi yang adil kecuali sanad ini.
Dalam rukun nikah ini, tidak disebutkan harus ada penghulu atau dalam terminologi fikih disebut al-ma’dzun al-syar’i. Karena itu, jika suatu pernikahan telah mencukupi syarat dan rukun nikah di atas, pernikahannya sah menurut hukum Islam.
Pada masa awal Islam, tidak dikenal istilah penghulu atau petugas yang bertugas melaksanakan akad nikah dan mencatatkannya dalam buku catatan resmi pernikahan. Sebab, biasanya pernikahan itu lansung dilakukan wali pihak perempuan dengan calon suami yang dihadiri dua orang saksi. Lalu, diadakan walimatul ‘urs untuk menginformasikan bahwa kedua mempelai telah jadi suami istri.
Namun, seiring menurunnya tata nilai sosial Islami dan semakin rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan aturan agama, diperlukan aturan dan manajemen pencatatan yang baik. Tujuannya agar orang-orang tidak dengan mudah mengakui sesuatu yang tidak pernah terjadi atau membantah sesuatu yang benar-benar terjadi.
Di sinilah perlunya penghulu dari KUA. Mereka melakukan pencatatan pernikahan untuk menjaga hak masing-masing suami dan istri serta anak yang mungkin lahir dari pernikahan itu. Karena itu, mayoritas ulama kontemporer mewajibkan setiap pasangan yang ingin menikah mencatatkan pernikahannya. Ini untuk menjaga hak tiap-tiap pihak dalam ikatan pernikahan jika suatu hari terjadi masalah.
Terutama sekali hak istri dan hak anak yang lahir dari pernikahan tersebut, seperti yang berkaitan dengan hak penetapan nasab, hak waris, hak nafkah, hak perwalian, dan hak-hak lainnya. Meskipun pernikahan yang memenuhi syarat dan rukunnya sah secara syar’i dan tanpa ada penghulu dari KUA tetapi umat Islam sangat tidak dianjurkan melakukan pernikahan seperti itu.
Wallahu a’lam bish-shawab ■
Sumber : Konsultasi Agama, Republika, Rabu, 9 Januari 2013 / 26 Safar 1434 H
ΩΩΩ
Entri Terakhir :
- Agar Anak Rajin Mengaji
- Akikah Ketika Dewasa
- Cara Menyikapi Isu
- Warisan Anak di Luar Nikah
- Hikmah Pascabencana Banjir
- Shalat Fajar, Qabliyah Subuh, Qiyamul Lail, dan Tahajud
- Buah Pala Haram?
- Merendahkan Hukum Allah
- Melintasi Shaf Jamaah
- Agar Anak Rajin Shalat