Oleh : M Quraish Shihab
Dalam Al-Quran surah An Nur ayat 3 kurang lebih dinyatakan bahwa orang-orang yang berzina tidak kawin melainkan dengan orang-orang yang berzina juga atau orang-orang musyrik, dan mereka itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.
Pertanyaan saya : Sebagai mukmin, apakah kita tetap diharamkan dan tidak pantas menikah dengan mereka, walaupun mereka telah bertaubat. Selain itu, orang-orang Muslim yang berzina dengan non-Muslim hendaknya menikah dengan wanita yang digaulinya itu ? Bukankah bila menikah tidak secara Islami, mengakibatkan hubungan seks suami istri akan dianggap zina ? Lantas, bagaimana dengan kalimat ayat di atas ? Bukankah membuat orang berzina tadi melakukan zina seumur hidupnya ( bila ia kawin dengan orang musyrik ) ?
Terima kasih atas jawaban Bapak.
M Fattachul Choiri, Nganjuk, Jawa Timur
Jawaban :
Ayat 3 surah An Nur yang Sdr tanyakan di atas, terjemahan lengkapnya adalah : Lelaki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh lelaki yang berzina atau lelaki musyrik, dan itu diharamkan atas orang-orang mukmin.
Ayat ini bukannya menyatakan bahwa yang berzina tidak boleh kawin, kecuali dengan yang berzina dan musyrik, tetapi maknanya adalah ‘tidak pantas/tidak wajar’ kawin kecuali dengan pezina atau musyrik pula. Ini disebabkan karena perkawinan antara lain bertujuan melahirkan ketenangan, kebahagiaan dan langgengnya cinta kasih.
Nah, bagaimana mungkin hal itu terpenuhi bila terjadi perkawianan antara seorang yang memelihara kehormatannya dengan yang tidak memeliharanya ? Tentu saja penzina yang telah bertobat, tidak lagi dinamai penzina dan dengan demikian mereka tidak termasuk dalam jangkauan ayat ini. Di sisi lain perlu dicatat bahwa ayat ini tidak melarang tetapi berbicara tentang ‘kewajaran dan kepantasan’.
Memang penutup ayat di atas yang menyatakan : dan itu diharamkan atas orang-orang mukmin, dapat menimbulkan kesalahpahaman. Ulama pun berbeda pendapat menyangkut maknanya. Ada yang berpendapat bahwa ini khusus bagi kasus yang menyebabkan ayat ini turun, yaitu kasus seorang shabat Nabi yang mempunyai kekasih penzina bernama ‘Anaq, yang ketika itu juga berstatus sebagai wanita kafirah.
Ada juga yang mengartikan bahwa kata ‘itu’ pada penutup ayat ini, menunjuk kepada ‘perzinahan’ bukan perkawinan sehingga ayat ini berarti ‘perzinahan diharankan atas orang-orang mukmin’.
Ada lagi yang memahami kata ‘haram’ bukan dalam pengertian hukum, tetapi dalam pengertian kebahasaan yakni ‘terlarang’ yang dasarnya adalah ketidakwajaran yang dipahami di makna awal ayat.
Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa ayat ini tidak berbicara sedikit pun, apalagi menganjurkan perkawinan siapa pun dengan penzina atau orang musyrik. Di sisi lain dapat dikatakan bahwa seorang Muslim yang melakukan pernikahan tidak dengan cara yang ditetapkan Islam, tentu saja pernikahannya tidak sah, dan dapat dinilai terus menerus berzina – jika ia mengetahui hal tersebut dan tetap melaksanakannya.
Demikian semoga Anda maklum. Wa Allah A’lam ■
Sumber : Quraish Shihab Menjawab , Dialog Jumat, Republika, Jumat, 27 Juni 2003 / 26 Rabiul Akhir 1424
ΩΩΩ