Makna Silaturahim


Oleh : KH. Athian Ali M. Da’i

Yang terhormat Bapak Kiai. Kini bertepatan dengan Bulan Syawal, tidak sedikit khususnya umat Islam mengadakan acara silaturahim. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah makna silaturahim dalam pandangan Islam ? Saya mohon penjelasan Pak Kiai tentang hal tersebut. — Safrudin, Depok

Jawaban:

Dalam suasana Syawal ( Idul Fitri ), layaklah kita berharap mudah-mudahan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang ‘aa-idiin, kembali pada fitrah kesucian, suci dari kekufuran dan kemusyrikan, suci dari dosa dan kesalahan, oleh karena dosa-dosa yang telah lalu sudah dihapus oleh Allah SWT. Dan, mudah-mudahan pula kita termasuk dalam golongan orang-orang yang, wal faa iziin, yang bahagia dunia akhirat.

Namun demikian masih layak pula timbul sebuah pertanyaan, apakah dengan diterimanya ibadah shaum seseorang berarti sudah secara otomatis termasuk minal ‘aaidiin wal faa-ziin, sudah terampuni seluruh dosa-dosanya ? Sebagian ulama berpendapat, seluruh dosanya terampuni baik dosa menzalimi diri maupun dosa fahisyah. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat, dosa yang langsung terampuni hanyalah dosa menzalilmi diri, sedangkan untuk dosa fahisyah harus diselesaikan terlebih dahulu antarmanusia yang bermasalah.

Dosa menzalimi diri, adalah dosa antara diri pribadi dengan Allah dan tidak ada pihak yang dirugikan dengan perbuatan dosanya, seperti dosa meninggalkna kewajiban shalat, shaum, dan lainnya. Sedangkan dosa fahisyah merupakan dosa yang apabila dilakukan oleh seseorang, yang rugi bukan hanya dirinya, tapi ada pihak lain yang juga dirugikan oleh sebab perbuatan dosanya, seperti dosa menyakiti perasaan orang lain, mencuri, korupsi atau membunuh.

Tingkat taubat untuk dosa fahisyah jauh lebih berat dibanding dosa menzalimi diri. Dalam hal dosa menzalimi diri, seseorang bisa bertaubat secra langsung kepada Allah. Untuk dosa fahisyah, seseorang tidak bisa selesai hanya dengan bertaubat kepada Allah, namun sebelum taubat dilakukan, seseorang harus menyelesaikan dan meminta maaf dulu pada orang yang ia zalimi hingga masalahnya tuntas.

Lalu bagaimana jika seseorang belum menyelesaikan dosa fahisyahnya di dunia ? Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda,”Tahukah kamu siapa orang yang paling bangkrut di akhirat nanti ? Yang paling bangkrut adalah mereka yang berbuat zalim di dunia, lalu mereka tidak meminta maaf atas kezaliman yang telah diperbuatnya. Jika yang berbuat zalim itu memiliki amal kebajikan, maka amal kebajikannya akan diserahkan pada orang yang dizalimi. Jika amalnya tidak cukup, maka dosa-dosa orang-orang yang ia zalimi akan dipindahkan pada orang yang menzalimi.”

Disadari atau tidak, sebagian saudara kita sudah terlalu lama menyepelekan perkara ibadah hablumminannas , sebab selama ini mereka sudah merasa cukup dalam urusan keislamannya bila sudah melaksanakan shalat, shaum, dan haji. Padahal, setiap detik dalam kehidupan ini harus bernilai ibadah. Allh SWT berfirman, “Tiadalah Kami ciptakan jin dan manusia kecuali semata untuk beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat, 51 : 56).

Sebenarnya porsi ibadah terbesar dalam hidup ini adalah ibadah hablumminannas , bahkan ibadah hablumminallah pun senantiasa berkaitan dengan aspek hablumminannas. Jika yang dimaksud dengan hablumminallah  itu adalah ibadah-ibadah yang terdapat dalam rukun Islam, maka berapa banyak ibadah-ibadah tersebut menyita jatah usia seseorang ? Tentu ibadah paling banyak ada pada ibadah hablumminannas . Dalam surah Al-Hujurat ayat 10, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saaudaramu ( yang berselisih ) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”

Dalam hadits juga Rasulullah SAW menyatakan, “Belum sempurna iman seseorang di antara kalian sampai dia bisa mencintai sesama mukmin, seperti cinta dia pada diri sendiri.” ( HR Bukhari ). Sehingga Rasulullah SAW juga berkata dalam slah satu hadits,”Tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa ( Islam ), jika seseorang dapat tidur dengan myemyak, sementara di sekelilingnya banyak saudaranya seiman yang tidak bisa tidur karena menahan lapar.”

Begitulah seharusnya silaturahim dalam Islam. Surat Al-Hujurat : 12 – 13 menjelaskan, pertama, jangan berburuk sangka kepada sesama  mukmin. Kedua, jangan sibuk mencari-cari kesalahan orang lain atau senang melihat wajah orang lain di cermin dari pada melihat wajah diri sendiri. Ketiga, janganlah membicarakan keburukan seseorang  hanya untuk maksud menjatuhkan dan menjelek-jelekkan bukan untuk mencari penyelesaian.

Sudah lama kita menganggap masalah silaturahim ini masalah kecil. Tiba saatnya kini hendaknya kita berhenti dari pandangan semacam ini. Mari kita selesaikan segala urusan yang tidak baik dalam silaturahim kita selama ini, sebelum kita atau pihak yang kita zalimi meninggal dunia sehingga kita sudah tidak punya peluang lagi untuk saling memaafkan.

Mari kita saling memaafkan pada hari yang fitri ini dengan terbuka, jelas secara akad untuk saling memaafkan, agar kita terbebas dari dosa-dosa fahisyah sehingga kita betul-betul sempurna dalam ber-Idul Fitri dan tergolong orang yang minal ‘aa-idiin wal faa iziin.

Sumber : Konsultasi Ulama, Suara Islam, Edisi 53, 24 Oktober – 6 November 2008 / 24 Syawwal – 7 Dzulqa’idah 1429 H

 ΩΩΩ

Selamat Idul Fitri. Taqabbalallahu minna wa minkum.
Mohon maaf lahir dan batin.

 

ööö

About Jalan Kehidupan

Blog ini hanya menyajikan ulang berbagai masalah keagamaan dalam bentuk tanya jawab dengan para ulama yang pernah diterbitkan di berbagai media cetak. Admin tidak menyediakan fasilitas tanya jawab dengan para pengunjung blog ini. Terima kasih.
This entry was posted in Akhlak, Athian Ali M. Da'i, Ramadhan and tagged , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment